Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia

Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia
APPKSI

Tuesday, January 19, 2010

PUBLIK EKSPOSE TERKAIT MOLORNYA PEMBANGUNAN PERKEBUNAN PLASMA SAWIT OLEH PT ANUGERAH UREA SAKTI



Ketimpangan yang dirasakan oleh petani plasma bagaikan sebuah cerita yang tak kunjung habis dalam sejarah panjang mereka memperjuangkan perbaikan taraf hidup. Plasma merupakan pola kemitraan antara petani dengan bapak angkat (pengusaha perkebunan) yang difasilitasi oleh pemerintah daerah.



Pola ini dalam rangka menunjang pembangunan pada sektor pertanian, terutama sub sektor perkebunan sebagai upaya peningkatan pendapatan para petani. Ditengah-tengah upaya pemerintah mendorong masuknya investasi asing dan lokal, tentu kebijakan ini merupakan salah satu langkah strategis pemerintah dalam rangka pemberdayaan peningkatan kesejahteraan petani serta terbukanya lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat di daerah.Kebijakan tersebut mendapat respon yang luar biasa dari para petani di Indonesia, dan tidak terkecuali juga para petani kita di Kabupaten Kutai Kerta Negara

Kebun plasma perusahaan yang sedang dibangun di Desa Puan Cepak,Kecamantan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur oleh PT Anugerah Urea Sakti dimana :

1. Setiap KK memperoleh 2 (dua) Ha lahan plasma;

2. Lokasi kebun di Desa Puan Cepak;

3. Tanam perdana telah dilakukan pada 26 November 2008 oleh Pemkab (Kadisbun), Muspika, dan tokoh desa serta masyarakat setempat; Kebun dikelola oleh Koperasi Perkebunan Sawit Sendowan (KPSS).

Total luas kebun plasma yang diajukan kreditnya kepada Ban kaltim adalah 1.200 Ha. Dimana PT Anugerah Urea Sakti Sebagai Kontraktor yang mendapat Kredit Tersebut sejumlah kurang lebih Rp 219 Milyar yang diduga ini juga merupakan jumlah yang dimark up ,dimana biaya pembangunan 1 hektar kebun kelapa sawit hanya berkisar pada harga Rp 40 juta sampai dengan masa panen seharusnya jumlah kredit yang didapat hanyalah berkisar 48 milyar , sehingga nantinya kredit yang diberikan oleh Bank Kaltim akan memberatkan para Petani plasma ketika saat akan mengembalikan kepada Bank

Dalam sistem perkebunan pola plasma, pihak yang lemah selalu ditempati oleh para petani plasma. Hal tersebut tidak hanya karena para petani plasma tergantung kepada kebun inti dan Kontraktor yang menikmati pinjaman dana kredit dari Bank KALTIM tetapi juga karena adanya keterikatan utang-piutang keduanya
Dari laporan yang diterima oleh APPKSI dari beberapa petani peserta palsma pada areal perkebunan tersebut serta dari hasil monitoring yang , ditemukan bahwa pembangunan kebun plasma tersebut tidak sesuai target yang dijanjikan oleh Kontarktor PT Anugerah Urea Sakti yang harusnya pada tahun 2009 harus terealisasi sejumlah 80% yang terealisasi baru 30 % dari total luas kebun plasma , serta didapati bibit yang ditanam pada perkebunan plasma tersebut tidak bermutu dan kurang pupuk sehingga hasilnya akan kurang baik
Hal lain juga tercermin dari banyaknya para petani plasma yang tidak tahu lembaga keuangan mana yang telah memberikan kredit KKPA untuk membangun kebun plasma mereka, sehingga mereka juga tidak tahu berapa Plafon kredit, jangka waktu pinjaman dan sistem pembayaran kredit yang mesti ditanggung, ditambah lagi atas ketidakmampuan mereka untuk mengevaluasi sistem kemitraan yang telah dijalin.

Kondisi ini akan semakin parah apabila terjadi hubungan perselingkuhan antara pengurus koperasi yang mewadahi para kelompok petani dengan pihak kebun inti. Pada tingkat kedua, konversi dengan para petani yang tidak jelas, padahal sistem perkebunan plasma ada tahapan yang mesti dituju yaitu tahap petani mandiri, artinya mereka (petani) secara berkelompok yang mengurus langsung areal perkebunan mereka masing-masing mulai dari perawatan, panen, dan sampai pengelolaan hasil panen mereka.

Hal ini telah terjadi di beberapa kelompok petani plasma seperti petani plasma yang diayomi oleh PTP VI di Pasaman Barat dan perusahaan lainnya. Tetapi tidak sedikit diantara perusahaan di Pasaman Barat dan daerah lainnya yang masih enggan untuk melakukan konversi kepada petani, bermacam alasan dan keberatan dikemukan oleh perusahaan, seperti ketidak-siapan para petani untuk mengelola kebun, lahan yang masih bermasalah, luas areal plasma masyarakat yang tidak diolah sesuai perjanjian oleh kebun inti, pembiayaan berasal dari kredit komersial, lahan kelompok tani yang berdempet, siliah jariah yang telah dibayarkan, areal yang tidak mencukupi dan sebagainya.

Padahal dalam pembangunan kebun yang pertama kali selalu dibangun kebun inti, sedangkan kebun untuk para petani plasma selalu belakangan bahkan diareal yang bermasalah apakah itu masalah struktur tanah, batas tanah ulayat, dan seterusnya.Ketimpangan dan ketidakadilan untuk mereka tak kunjung habis, sehingga kesabaran merekapun punya batas, maka timbulah keinginan mereka untuk kembali memperjuangan hak-hak mereka yang telah terbuldoser oleh berbagai kepentingan ditengah hamparan kebun sawit dan inilah masalah tingkat ketiga.

Mereka dengan terpaksa harus melakukan demonstrasi demi memperjuangkan hak-hak mereka, namun kekesalan dan kemarahan mereka sampaikan kepada pemerintah daerah. Namun ditengah-tengah mencari penyelesaian pihak perusahaan seperti tidak peduli dengan nasib mereka dan bahkan pemerintah daerah kabupaten sebagai fasilitator dalam penyelesaian permasalahan tidak jarang diabaikan para pengusaha.

Padahal kalau disadari dengan hati nurani oleh para pengusaha sawit, areal perkebunan yang dikelola perusahaan untuk perkebunan merupakan tanah warisan leluhur dari nenek moyang mereka yang telah dimiliki semenjak ratusan tahun lalu. Tapi demi pembangunan negara dan peningkatan ekonomi, dengan rela mereka serahkan/percayakan kepada investor untuk pengelolaannya dengan pola kemitraan, ternyata hasilnya investor telah meraup keuntungan ditengah-tengah tanah warisan leluhur mereka, sementara mereka baru sebatas buruh ditanah sendiri.

Kalau kondisi terus terjadi, maka apa yang menjadi komitmen pemerintah untuk mewujudkan good governance sulit terwujud. Karena dalam good governace dibutuhkan keseimbangan antara tiga pilar utama, yaitu pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Artinya antara ketiga pilar tersebut tidak ada yang kuat dan lemah, ketiganya harus seimbang dan dinamis. Pada saat pengusaha lebih kuat dari rakyat dan pemerintah, maka kemiskinan dan kesenjangan akan semakin meningkat di negeri ini, atau begitu sebaliknya.

Apalagi disaat pemerintah ingin mengentaskan kemiskinan di negeri ini.Berbagai pihak perlu memahami tentang disharmonisasi investor dengan rakyat di daerah, atau lambannya pemerintah daerah dalam menyelesaikan masalah. Pertama hal ini akibat sistem pemerintahan kita tempo dulu, kedua akibat terjadinya proses demokratisasi dalam kehidupan masyarakat, ketiga terjadinya sistem pemerintahan yang lokal demokratis, keempat rendahnya komitmen para investor itu sendiri dalam membangun community development untuk warga masyarakat, kelima masalah kepastian hukum, keenam rendahnya nilai tawar masyarakat, seterusnya pengurus koperasi yang tidak transparan dan sebagainya.

Dalam dunia investasi, berbagai masalah tersebut telah mendatangkan kerugian bagi pemerintah, padahal pemerintah sedang berupaya menarik investor asing untuk mau berinvestasi di Indonesia, bahkan pemerintah daerah sendiri telah melakukan berbagai terobosan dan inovasi dalam peningkatan pelayanan perizinan bagi para investor.

Namun permasalahan yang terjadi juga sebahagian dari akibat sumbangsih perilaku para investor itu sendiri. Sepanjang belum ada keseimbangan antara pemerintah daerah, dunia usaha/investor dan masyarakat maka konflik sosial sulit untuk dihindari. Sebagaimana dikatakan Aditjondro (Kompas, Hal.2 tanggal 13 Desember 2006) konflik sosial juga bisa muncul jika ada kepentingan korporasi besar, artinya konflik bukan saja karena faktor sosiologis, tetapi juga karena tumpang tindih dengan kepentingan neoliberal yang membawa masuk investasi.

Kalau dilihat dari kondisi dan masalah yang terjadi saat ini bagi petani plasma, maka kebijakan sistem kemitraan antara pengusaha/pemilik modal dengan petani telah mengalami penyimpangan pada tataran implementasi kebijakan.

Untuk itu sudah saatnya kebijakan tersebut dievaluasi kembali sebagai feed back dalam proses perumusan kebijakan pola kemitraan antara petani dengan pengusaha perkebunan kalau kita semua sepakat untuk memperbaiki nasib para petani, apalagi saat ini pemerintah sedang giat-giatnya membangun program pengentasan kemiskinan.
Dan kita yakin kalau sistem petani plasma dikelola dengan benar, transparan dan akuntabel maka program ini mendorong percepatan pengentasan kemiskinan di Kalimantan timur .(*****)



KPK Bidik Manajemen Bank Kaltim terkait mark up pemberian Kredit pada PT Anugerah Urea Sakti

JAKARTA, TRIBUN - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Transparansi Otonomi Daerah melalui juru bicaranya, Ahmad Dede Kurnia menyambut baik sikap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mulai menyoroti kinerja Bank Pembangunan Daerah (BPD). Terlebih, KPK tengah dalam penyelidikan praktek setoran illegal dari beberapa BPD kepada pejabat di tingkatan provinsi dan kabupaten di beberapa daerah.






Dede Kurnia dalam pernyataannya, Minggu (10/1) juga menyatakan kasus setoran illegal di beberapa BPD tersebut nampaknya hanya salah satu dari dugaan praktek tak sehat yang terjadi di lingkungan BPD.



"Keberadaannya yang jauh dari pengawasan institusi penegak hukum pusat nampaknya membuka peluang lebih besar bagi terjadinya praktek-praktek tak sehat. Praktek tak sehat itu menjurus ke tindak pidana korupsi yang berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara yang signifikan," katanya.



Dede kemudian meyakini adanya

dugaan praktek perbankan tak sehat adalah penyaluran kredit bermasalah oleh BPD Kaltim pada salah satu perusahaan lokal berinisial PT AUS di Kalimantan Timur.



Secara legal, paparnya, memang pihak yang mengajukan kredit adalah koperasi masyarakat sebagai petani plasma. Akan tetapi yang menjadi penjamin korporat adalah perusahaan yang dimaksud.



"Faktanya PT AUS pula yang mengelola dan menggunakan dana kredit tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kreditor substansial adalah PT AUS.Kredit tersebut bernilai sekitar Rp. 219.000.000.000 yang direalisasikan bulan Juli 2009 untuk keperluan pembangunan dan pengelolaan perkebunan plasma kelapa sawit milik rakyat seluas 1g200 hektar di Kutai Kartanegara," Dede menjelaskan.



Dugaannya bahwa, Dede menegaskan, dana kredit tersebut ternyata tidak dipergunakan untuk pembangunan dan pengelolaan perkebunanan plasma kelapa sawit milik rakyat. Hal ini muncul setelah melihat sangat lambannya proses pembangunan perkebunan.



"Hampir semua jadwal tahapan pembangunan perkebunan mulai dari pembersihan lahan (land clearing), pembangunan jalan-jalan , pembangunan drainase sampai pembibitan melenceng dari batas waktu yang telah ditetapkan sebelumnya," paparnya.



"Jika pada akhirnya pembangunan perkebunan rakyat tersebut gagal maka kemungkinan besar kredit PT AUS tersebut akan menjadi macet dan itu artinya telah menimbulkan kerugian keuangan negara," sambung Dede lagi

KPK Diminta Tuntaskan Kasus Mark Pemberian Kredit pada PT.AUD di BPD Kaltim

VIVAnews -- Kinerja Bank Pembangunan Daerah (BPD) terus mendapat sorotan. Saat ini KPK tengah menyelidiki praktek setoran illegal dari beberapa BPD kepada pejabat di tingkatan provinsi dan kabupaten di beberapa daerah.




Kasus setoran illegal di beberapa BPD tersebut nampaknya hanya salah satu dari dugaan praktek tak sehat yang terjadi di lingkungan BPD. Keberadaannya yang jauh dari pengawasan institusi penegak hukum pusat membuka peluang lebih besar bagi terjadinya praktek-praktek tak sehat.



Praktek tak sehat tersebut menjurus ke tindak pidana korupsi yang berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara yang signifikan. Salah satu dugaan praktek perbankan tak sehat adalah penyaluran kredit yang diduga bermasalah oleh BPD Kaltim ke sebuah perusahaan.



Secara legal memang pihak yang mengajukan kredit adalah koperasi masyarakat sebagai petani plasma. Akan tetapi yang menjadi penjamin korporat adalah perusahaan tersebut. Faktanya perusahaan itu pula yang mengelola dan menggunakan dana kredit tersebut.



Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kreditor substansial adalah perusahaan tersebut. Kredit tersebut bernilai sekitar Rp. Rp 219 miliar yang direalisasikan bulan Juli 2009 untuk keperluan pembangunan dan pengelolaan perkebunan plasma kelapa sawit milik rakyat seluas 1.200 hektar di Kutai Kartanegara.



Ada dugaan bahwa dana kredit tersebut ternyata tidak dipergunakan untuk pembangunan dan pengelolaan perkebunanan plasma kelapa sawit milik rakyat. Dugaan tersebut muncul setelah melihat sangat lambannya proses pembangunan perkebunan.



"Hampir semua jadwal tahapan pembangunan perkebunan mulai dari pembersihan lahan (land clearing), pembangunan jalan-jalan , pembangunan drainase sampai pembibitan melenceng dari batas waktu yang telah ditetapkan sebelumnya," kata Juru Bicara Transparansi Otonomi Daerah, Ahmad Dede Kurnia, Minggu 10 Januari 2010.



Jika pada akhirnya pembangunan perkebunan rakyat tersebut gagal maka kemungkinan besar kredit perusahaan tersebut akan macet dan itu artinya telah menimbulkan kerugian keuangan negara.



Selain itu jika pembangunan perkebunan rakyat oleh perusahaan itu gagal maka dipastikan akan menimbulkan kerugian bagi rakyat setempat sebagai pemilik dan kemungkinan juga sebagai pekerja perkebunan kelapa sawit.



Terlebih jaminan fisik kredit tersebut adalah lahan-lahan kebun yang sedang dibangun. Jika kelak kredit menjadi macet dan pihak Bank melakukan penyitaan jaminan, maka rakyat pemilik lahan akan mendapat dua kali kerugian.



Kerugian pertama mereka kehilangan pendapatan dan mata pencaharian karena pembangunan kebun gagal, sedangkan kerugian kedua timbul karena lahan rakyat tersebut akhirnya disita oleh bank karena merupakan jaminan kredit.



Karena itu, KPK harus bertindak cepat, dan menjadikan prioritas oleh KPK mengingat potensi kerugian keuangan negaranya yang sangatlah besar dan jauh melampaui batas bawah kewenangan penyidikan KPK yang hanya Rp 1 Milliar.



Mereka juga meminta KPK juga harus melihat detail mutu pekerjaan pembangunan perkebunan yang dilakukan perusahaan itu apakah sudah sesuai dengan apa yang selama ini dijanjikan. "Soal pengadaan bibit misalnya, harus dilihat apakah bibit yang disediakan benar-benar bibit yang mutu dan harganya seperti yang telah disepakati," ujar Ahmad Dede Kurnia.




• VIVAnews